PERSEPSI SANTRI BUTA TEKNOLOGI
Lembaga Pers Santri

By Operator 13 Mar 2021, 09:54:23 WIB Dunia Islam
PERSEPSI SANTRI BUTA TEKNOLOGI

Memiliki akhlak yang mulia, tutur bahasa yang lembut dan tingkah laku yang sopan, berintegritas, mandiri, problem solver serta bertanggungjawab adalah identitas seorang santri yang melekat erat dalam mindset masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini disebabkan santri adalah generasi yang lebih fokus mempelajari ilmu akhlak, fiqh, ketasawufan dan ilmu kehidupan dibandingkan generasi lain. Santri adalah sebuah predikat atau gelar kehormatan. Nurcholish Madjid, sebagai seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia mengatakan bahwa asal usul kata “Santri” dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, “Santri” berasal dari kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini didasarkan atas kaum santri kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Kedua, perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik” berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap. Sebutan santri sendiri senantiasa berkonotasi mempunyai guru besar yang di panggil kiai. Meskipun begitu perasaan kekeluargaan yang erat sangat dirasakan antar keluarga besar pondok pesantren dengan wali santri.

Santri adalah sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ulama. Bagaimana tidak, sejak bangun tidur hingga akan kembali tidur, kegiatan santri selalu padat dengan mengaji, berdzikir, belajar fikih, kitab kuning, mantiq, balaghoh, nahwu shorof dan lainnya. Santri sudah dibiasakan mencari kebaikan-kebaikan, bekal untuknya dan orang tuanya di akhirat kelak. Entah itu berpuasa, mengabdi, tirakat dan lain sebagainya. Sehingga menyentuh alat elektronik hanya sekedarnya saja, bahkan dibatasi. Mungkin berawal dari sinilah pemikiran sebagian masyarakat mengenai “Santri Buta Teknologi” itu muncul.

Kenapa sih akses santri terhadap teknologi dibatasi? Bukankah dengan teknologi kita bisa mengetahui berita terkini? Bukankah dengan teknologi bisa lebih bebas berekspresi? Bukankah dengan teknologi kita bisa berdakwah lebih luas lagi?. Mari kita perjelas lagi, Apakah kamu yakin, sudah mampu mengendalikan diri? Karena banyak orang tua menjadikan ‘kecanduan gawai’ sebagai salah satu alasan memasukkan putra-putrinya kepesantren. Sudah mampukah menjunjung tinggi harkat martabat seorang santri? Karena banyak yang merasa sudah mengerti dan pantas menjadi kiyai padahal ilmu baru seumur biji kuaci. Sudah mampukah menepati janji berdedikasi untuk santri, kiyai bahkan negeri? Karena banyak orang lalai, terjerumus bahkan menjerumuskan dengan hanya bermodal teknologi. Tidak sedikit orang mengaku kiyai. Padahal tak pernah merasakan dan tak mengerti hakikat seorang santri. Dengan mudah mereka mengharamkan, mengkafirkan padahal sholat shubuhnya kesiangan, disuruh tetangga mimpin tahlilan saja ogah-ogahan, karena tidak paham. Inilah yang ditakutkan.

Di era 4.0 ini muncul istilah santri milenial, dimana santri hidup di era yang serba cepat, praktis, dan terkoneksi dengan dunia digital. “Sebagai santri harus berwawasan luas yang tidak hanya mengerti dunia agama saja, tapi juga mengetahui dunia luar. Agar apa? Agar mereka bisa menghadapi dunia era digital yang sedang berlangsung”. Ujar Nur Hisyam salah satu wali santri Pondok Pesantren Pancasila selain itu beliau juga menerangkan bahwa anggapan masyarakat mengenai santri yang kudet itu salah “Karena masyarakat tidak mengetahui betul dunia santri yang sebenarnya, karena saya juga seorang santri dari pesantren salaf dan bisa masuk ke universitas favorit”. Salah satu walisantri lainnya, bapak Taufiq yang mana beliau adalah salah satu tokoh masyarakat di daerah purwodadi menambahi, “Banyak sekali orang yang bermanfaat dimasyarakat itu justru berlatar belakang santri, karena memang kalau hanya ambil sekolah saja fungsi dan ketrampilanya kurang. Kalau jadi santri bisa multitalent, mempelajari banyak hal. Dan tidak sedikit juga alumni pondok menjadi orang sukses. Jadi didalam pesantren, selain anak bisa dalam bidang agama, umum dan sosialnya juga berkembang”. “Siapa yang bilang santri itu ketinggalan zaman? Sekarang sudah ada slogan tidak mondok tidak keren. Pandangan masyarakat yang seperti itu kurang pemahaman saja, contohnya ekskul pondok tidak kalah dengan sekolah umum. Kalau dirumah orang tua tidak bisa mengawasi 24 jam belum lagi dari lingkungan luar. Kalau dipesantren anak lebih terarah, dan tidak sebebas diluar. Yang paling ditakuti itu anak kecanduan gadget dan orang tua tidak bisa mengatasi. Kalau dipondok kan dibatasi, hanya untuk mencari informasi atau sejenisnya.” Sahut Ibu Sofia Titik, wali santri yang bekerja sebagai guru sekolah di Bergas Kabupaten Semarang. Kurang lebih itulah percakapan yang kami dapat dari perbincangan kami dengan beberapa walisantri Pondok Pesantren Pancasila Salatiga pada Minggu 7 Maret 2021.

Revolusi Industri 4.0 sendiri merupakan fenomena yang mengkolaborasikan teknologi cyber dan teknologi otomatisasi. Memang perkembangan era digital atau teknologi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para santri. Sehingga saat ini banyak sekali pondok pesantren yang memberikan wadah berkreasi dan berinovasi bagi santriwan-santriwati untuk menunjang pengetahuan teknologi. Salah satunya di Pondok Pesantren Pancasila Salatiga. Melalui Lembaga Pers Santri atau LPS ini, diharapkan kelak para santri mampu berkiprah di dunia digital atau teknologi agar bisa berkontribusi dan bersinergi membangun negeri, di daerahnya masing-masing.

Sebagian masyarakat enggan memondokkan putra-putrinya, karena dihantui pemikiran lumrahnya santri itu akan menjadi ustaz, masa depan kurang cerah, gajinya kecil dan lain sebagainya. Padahal tidak sedikit orang yang berlatar belakang santri menjadi orang besar. Entah itu menjadi tokoh masyarakat, dosen, ilmuan atau para petinggi negara. Disini kita melihat bahwa status santri itu tidak menutup kemungkinan menjadi apapun yang di kehendaki di masa depan. Bahkan Ketua Umum Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Nurul Hidayati Ummah mengungkapkan dalam wawancaranya di Media Indonesia pada Jumat 24 Januari 2020, bahwa ia berharap santri bisa mampu berkiprah dan memberikan sumbangsih untuk negeri ini melalui tehnologi. Bahkan beliau berharap di era digital tehnologi ini santri bisa menguasai pasar nasional dan internasional. Mengapa beliau berani berharap sebesar itu? Karena beliau yakin bahwa santri mampu bersaing dan berkembang dalam kemajuan zaman. Pada Hari Santri Nasional 22 Oktober dari kalangan pemerintah pun selalu turut ikut memeriahkan, dengan mengadakan sayembara karya tulis ilmiah, fotografi, hingga video pendek. Terlepas dari berbagai macam bentuk peringatan yang dilakukan oleh semua pihak, disini kita bisa melihat, pemerintah juga memliliki harapan bagi para santriwan santriwati untuk turut maju dan berkembang di era digital ini.

Melalui tuntuntan zaman, mau tidak mau dunia pesantren tentu harus turut aktif dan mengejar ketertinggalannya. “Kita mempertahankan sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang baik. Jadi, yang lama yang baik itu dipertahankan dan tidak menolak sesuatu yang baik yang datang dikemudian hari”. Keyakinan inilah yang diajarkan kepada para santri sehingga santri akan tetap bertahan dan turut mampu berkembang di era digital kedepan.

Daftar Pustaka

Abdul Qadir Jailani, Peran Ulama dan Santri (Surabaya: Bina Ilmu, 1994).

Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2005).

Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999).

Dhika Kusuma Winata, Santri Harus Bisa Berinovasi di Era Digital, (Media Indonesia, Jumat 24 Januari 2020, 22:27 WIB).

Penulis: Dewi Ulfa Uluwiyah, Niken Rahma Ardila, Dwi Widayanti




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

Write a comment

Ada 20 Komentar untuk Berita Ini

View all comments

Write a comment