- Tirakat: Suatu bentuk Spiritual dari Pesantren
- FAKTA PENTINGNYA MONDOK
- PONDOK PESANTREN PANCASILA SUDAH MEMBUKA PENDAFTARAN UNTUK SANTRI BARU TAHUN AJARAN 2024/2025
- Hal-Hal Yang Perlu Dipersiapkan Sebelum Mondok di Pesantren Pancasila Salatiga
- (PENERIMAAN SANTRI DAN SISWA/I BARU) TAHUN AJARAN 2023/2024
- INFORMASI PSSB (PENERIMAAN SANTRI DAN SISWA/I BARU) TAHUN AJARAN 2022/2023
- Milad Pon Pes Pancasila yang Ke 29 Tahun, Media Pancasila Mengajak Seluruh Alumni dan Warga PP Panca
- Penyambutan Ust Bantu dari Lirboyo Kediri dan Pengenalan Program Pesantren Santri Baru 2021
- Ahlan Wa Sahlan, Pon Pes Pancasila Sambut Kedatangan Santri Baru
- Hadapi Imtihan Akhir Semester, Santri Pondok Pesantren Pesantren Pancasila mengharapkan Hasil yang T
KUMPULAN PUISI UNTUK GURU KITA ABAH KYAI MUHLASIN
Puisi Untuk Abah
[4/9 08.25] Syarif Tebuireng: (Inspirasi)
Abah...
Baru kemarin rasanya,
Engkau memompa semangat kami.
Melewati hari-hari.
Dengan senyum dan semangat baru.
Kini kau berangkat kepangkuan-Nya.
Abah...
Pesanmu, masih terekam jelas.
Bersama kita melangkah.
Saling mendukung.
Menuju Nirwana.
Demi agama dan bangsa.
Di bawah bendera besar aswaja.
Abah, pesanmu penuh semangat kala itu.
Tetap tersenyum!
Berikan semangatmu!
Tunjukan potensimu!
Abah mendukungmu!
Terus menginspirasiku.
Abah,
Kami rindu.
(Gila)
Kabar kepergian engkau begitu luar biasa.
Bak petir di siang bolong.
Akupun tak siap menerimanya.
Merasa gila.
Berjalan tanpa tujuan.
Tujuan yang hambar.
Badan lunglai.
Penuh keringat.
Pagi itu tanpa isyarat.
Engkau masih penuh semangat.
Bersama udara segar.
Waktu berubah begitu cepat.
Semesta kelam,
Engkau pergi dalam wajah damai.
Aku mencoba kuat.
Meskipun terjatuh berkali-kali.
Netra mengalir tanpa diaba.
Wajah pucat bak sekarat.
Begitu cepat, aku gila.
Syarif A
[4/9 08.26] Syarif Tebuireng: (Kiai Mukhlasin)
Kiai Mukhalasin namanya.
Matahari dari Salatiga.
Di bawah cahaya Pancasila.
Mendidik generasi bangsa, daku hadur di sana.
Kiaiku.
Hamparan pesanmu mengajarkan hidup penuh usaha.
Jalan terjal harus dipaksa.
Perjuang agama tak kenal menyerah.
Tanpa kata lelah, kata engkau malam itu.
Aku rindu suara engkau saat membaca kitab jalalain.
Menikmati kalam ilahi, kata demi kata.
Jauh dari konflik dunia.
Penuh makna dan tawa.
Harapan bahagia.
Aku terus bermimpi tentang engkau.
Sosok bersahaja.
Datang membawa kitab.
Membalut luka hati yang menganga.
Luka karena cinta dunia.
Membawa daku dalam pelukan surga
Engkau datang membawa aura surga.
Menyelipkan dalam relung tubuh ringkik ini.
Senyumnya masih sama.
Kala itu, di suatu senja.
Mimpi-mimpi tentang engkau terus datang tanpa diminta.
Kadang waktu engkau datang bersepeda
Lalu bercerita.
Keliling asrama.
Aku terbuai olehnya.
Kehilangan pasti.
Seperti angin senja.
Engkau melengkapi suasana.
Sejuk sejak hadirnya.
Bahagia mendengar tawa.
Rindu canda tawa.
Di sudut meja.
Harus dengan apa aku kata.
Sosok engkau luar biasa, guru.
Hadir engkau sempurna.
Mengikat dalam pikiran dan rasa
Sulit untuk menggambarnya.
Takut, begitu adanya
Khawatir kesempuranaan ini sirna.
Hilang tanpa jejak mata.
Terbang bersama sejuta kenangan dan bunga.
Tinggal hati yang durjana.
Terpaku diam melawan rasa.
Izinkan semua diabadikan dalam kata.
Salatiga,
Syarif
[4/9 08.27] Syarif Tebuireng: (Pejuang Tangguh)
Doa dan nasehat engkau turun bersama kemurnian.
Kesejukan mengundang rasa segar.
Pada hati yang gersang.
Tertanam harapan.
Asa tak berujung lewat setetes embun ilahi.
Mimpi membuat manusia kuat.
Kuat dalam sendiri.
Tangguh dalam berjuang.
Menapaki tangga mimpi.
Mengejar asa.
Pejuang tangguh tidak lahir dari medan mulus, kata guru.
Ikhlas dalam bertindak, tegas sang guru.
Seperti namanya, engkau selalu ikhlas guru.
Pada ilahi, ku titipkan doa.
Pucaknya doa, kelak bersama di surga.
Begitulah butuhnya aku pada engkau, guru.
Salatiga,
Syarif A
[4/9 08.28] Syarif Tebuireng: (Kiai, Engkau Bearti)
Mengenalmu buatku tak sendirian di dunia ini, kiaiku.
Merasa sendiri dalam keramaian.
Tak menentu arah dan tujuan.
Kesendirianku sebengis yatim piatu di medan perang.
Kemarin,
Aku daging dan tulang yang berjalan,
bersuara lantang tapi tak dihiraukan.
Terlunta-lunta di persimpangan jalan.
Tak bertuan.
Cintapun tak ada.
Kini...
Hadirmu membalik semuanya.
Aku menjelma menjadi sebuah puisi hidup.
Menari dan obyek perubahan.
Dan, ini berlangsung dalam semenit dari bertemu denganmu.
Aku lalu melahirkan karya demi karya yang tertata.
Semua berangkat dari doa dan petuahmu.
Kiai...
Nasehatmu abadi di hati.
Kasih sayangmu hakiki.
Sederhana dan penuh makna.
Seperti matahari yang mencintai pagi.
Setia hadir setiap pagi hingga terus terulang.
Begitulah kau ajarkan istiqomah.
Cinta tanpa syarat yang menjadikan engkau bearti.
Kiaiku,
Izinkan hati ini bicara.
Bukan hanya sekedar kata.
Kau hadir berikan makna cinta.
Membuat hidupku kembali bermakna.
Kau sangat bearti
Ini bukan basa-basi.
Tanpa engkau hidupku seakan tiada arti.
Kini, engkau pergi.
Pergi untuk selamanya.
Menghadap sang khaliq.
Seakan belum percaya.
Hatiku terus berusaha hadirkan sosok
Dalam nyata dan mimpi.
Batu nisan kini teman dalam doa untuk engkau.
Engkau bearti kiai...
Syarif A
[4/9 08.32] Syarif Tebuireng: (Rindu Sang Guru)
Saat kata tak mampu terungkap langsung,
hati ini menjerit memanggil namamu.
Lewat lantunan doa di batu nisanmu setiap pagi.
Rindu yang terus mengebu, daku wakilkan.
Meski tak mengubah apapun.
Hal itu terusku ulangi, guru.
Bagai pagi yang tak bertemu malam,
dinding hati ini roboh akan terpaan rinduku,
rindu padamu guruku.
Inginku bersimpuh di hadapanmu.
Apadaya, aku tak mampu
mengejar bayangmu.
Syarif A